Minggu, 15 Januari 2012

Merangsang Guru Menulis Buku

Minggu, 4 Februari 2007
Merangsang Guru Menulis Buku Oleh Hidayat Raharja

ADA sesuatu yang diam-diam dikelucak kala membaca tulisan Saiful Amin Ghofur ’’Ketika Penerbit Punya Misi Terselubung’’ dan tanggapan yang ditulis Faizah S.A. ’’Matinya Penerbit Buku Pelajaran’’. Kedua tulisan tersebut menggugat guru untuk menulis buku pelajaran, karena buku pelajaran yang ada tidak mengakomodasi potensi lokal yang seharusnya menjadi implementasi dalam setiap pembelajaran. Tidak dapat dipungkiri jika kehadiran buku pelajaran yang ada kurang sesuai dengan tuntutan kurikulum tiap satuan pendidikan (KTSP) yang akan dilaksanakan mulai awal tahun ajaran 2007/2008.

Semenjak digantinya kurukulum 1994 dengan kurikulum berbasis kompetensi, semua buku pelajaran yang diterbitkan oleh beberapa penerbit buku, di sampul buku tercetak ’’Sesuai dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi’’ atau ’’Sesuai dengan Kurikulum 2004’’. Tapi nyatanya isi di dalamnya tak jauh berbeda dengan terbitan sebelumnya berdasarkan kurikulum 1994. Sementara dengan diberlakukannya KTSP setiap satuan pendidikan berimplikasi kepada guru pengajar untuk menyusun kebutuhan kurikulum di setiap sekolah yang mengacu kepada Badan Standar Nasional Pendidikan.

Penyusunan silabus pada setiap mata pelajaran berdasarkan kepada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan dari pusat. Suatu peluang bagi setiap guru mata pelajaran untuk mengakomodasi muatan lokal dan implementasinya dalam pembelajaran yang diselenggarakan.

Secara hakiki, pemberlakuan KTSP membawa konsekuensi terhadap guru untuk menyusun materi pelajaran sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi di setiap sekolah. Ini perlu dilakukan mengingat buku pelajaran yang disusun penerbit tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dan kekhasan setiap poptensi lokal di setiap satuan pendidikan.

Pemikiran cukup brillian dari Faizah S.A. untuk melawan penerbit buku pelajaran yang mata duitan dengan gagasan guru untuk mengambil alih tongkat estafet penulisan buku pelajaran. Kaum guru harus bersatu, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) mesti diberdayakan secara optimal, dengan estimasi setiap MGMP daerah provinsi menerbitkan buku pelajaran dan dipergunakan di daerah provinsi bersangkutan. Namun, gagasan cemerlang ini dimentahkan sendiri oleh Faizah, sebagai suatu harapan yang musykil dilaksanakan, perasaan pesimistis berharap kepada guru untuk menulis buku pelajaran.

Ia secara ilmiah membeberkan data-data faktual mengenai kompetensi dan keahlian, serta profesionalitas guru di Indonesia. Sebuah keraguan karena minimnya guru yang memiliki kemampuan menulis buku ataupun menulis karya ilmiah dan relatif rendahnya kapasitas intelektual calon guru dan para guru.

Fakta lain yang tidak diungkap dalam tulisan Faizah, dari sekian banyak guru yang tidak memiliki kemampuan menulis buku pelajaran, masih ada guru yang rajin menulis atau membuat artikel dan dipublikasikan di media massa atau kemudian dikompetisikan di sebuah lomba mengarang atau menulis buku yang diselenggarakan lembaga pendidikan baik di tingkat lokal, regional maupun nasional. Setiap tahun selama tujuh tahun terakhir Depdiknas memanggil 50 guru bahasa dan sastra Indonesia yang karya tulisnya terseleksi dalam ajang Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) dan Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP).

Sudah enam tahun, setiap tahun Depdiknas memanggil sekitar 100 guru dari berbagai daerah yang berhasil lolos seleksi membuat laporan karya tulis mengenai inovasi pembelajaran, dan setiap tahun pula pusat perbukuan memanggil 25 guru dari jenjang TK, SD, SMP, SMK/SMA dari seluruh Indonesia yang berhasil memenangkan lomba penulisan buku baik fiksi maupun non-fiksi. Secara reguler bagian proyek Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup mengadakan lomba karya tulis lingkungan hidup yang diperuntukkan bagi siswa dan guru tingkat SMP dan SMA dan sederajat. Belum lagi para pemenang lomba menulis untuk guru yang diselenggarakan lembaga di luar Depdiknas. Pada setiap jenjang lomba tersebut pemenangnya berasal dari berbagai wilayah provinsi dengan latar belakang mata pelajaran yang beragam pula.

Diklat dan pelatihan menulis karya ilmiah atau penelitian tindakan kelas (PTK) bagi guru diselenggarakan oleh dinas pendidikan di kabupaten atau kota, juga dilaksanakan oleh dinas pendidikan dan kebudayaan provinsi untuk melatih kecakapan guru dalam membuat karya tulis. Secara berkala beberapa daerah kabupaten mengadakan lomba karya tulis ilmiah bagi guru dan siswa di tingkat SMP dan SMA. Bahkan sejak 2006 Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Timur memberikan dana kegiatan forum ilmiah guru (TK, SD, SMP, SMA/SMK) di tingkat kabupaten dan kemudian ditinddaklanjuti dalam forum ilmiah guru di tingkat provinsi. Langkah konkret untuk mengembangkan wawasan dan kemampuan guru membuat karya tulis.

Di setiap daerah potensi menulis di kalangan guru belum terkelola secara baik untuk menjadi penulis buku pelajaran. Hadirnya MGMP di setiap kota, dan bahkan di Jawa Timur telah tersusun kepengurusan MGMP wilayah provinsi, merupakan peluang yang dapat dioptimalkan untuk merealisasikan penulisan dan penerbitan buku pelajaran. Namun, dari pengalaman di masa lalu, hadirnya buku yang disusun dan diterbitkan MGMP kurang menarik dari sisi kualitas isi dan kemasan. Salah satu penyebabnya karena tidak ada modal untuk mendanainya. Penulis buku pelajaran tidak dibayar secara layak, sehingga enggan untuk menulis buku pelajaran. Sementara guru sudah banyak memilih menjual buku pelajaran yang memberikan banyak rabat. Sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit komersial, mampu memberikan rabat antara 30-50 persen dan bonus tambahannya mendapatkan perlengkapan administrasi pembelajaran, souvenir dan sebagainya.

Sejak digulirkannya otonomi pendidikan, pemerintah pusat (Depdiknas) tidak lagi menangani penerbitan buku pelajaran. Dana pengadaan buku pelajaran dialihkan pada setiap daerah untuk dikelola sendiri. Dimasukkannya anggaran pengadaan buku pelajaran ke dalam Dana Alokasi Umum setiap kota atau kabupaten memberikan peluang untuk mengembangkan potensi menulis yang dimiliki para guru. Peluang yang bisa memberikan penghargaan kepada guru penulis buku pelajaran secara layak, juga keberadaan dana tersebut bisa menyuplai perkembangan perusahaan penerbitan di daerah sehingga bisa terus melanjutkan produksinya.

Namun, harapan ini tak jua tercapai, karena setiap kota kemudian membelanjakan dana untuk membeli buku pelajaran ke penerbit yang sudah ada, tidak mau direpotkan dengan mengembangkan potensi menulis guru untuk menyusun buku pelajaran yang akan menyedot banyak dana. Asumsinya, dengan membeli langsung ke penerbit mereka bisa meraup rabat tanpa harus bersusah payah. Jika demikian, bersatunya kaum guru dan hadirnya MGMP tak akan banyak membawa pengaruh untuk mengaktifkan guru menulis buku pelajaran, karena guru akan direpotkan oleh pendanaan dan distribusi buku yang telah diterbitkannya. Penerbit buku pelajaran akan terus bergerilya untuk mencari celah-celah kelemahan untuk memasokkan produk buku pelajaran dengan aneka rabat dan bonus yang menggiurkan, dan guru akan tetap menjadi objek dunia penerbitan.

Ceritanya akan lain jika dana buku di setiap daerah dipergunakan untuk memberdayakan guru menulis buku pelajaran di setiap MGMP kota atau kabupaten. Dinas Pendidikan mendanai penerbitan dan bertindak sebagai distributor terhadap sekolah-sekolah di wilayah binaannya.**



*) Hidayat Raharja, esais, guru SMAN 1 Sumenep

Tidak ada komentar:

Posting Komentar